Cinta Menurut Ajaran Agama

Ada yang berpendapat bahwa etika cinta dapat dipahami dengan mudah tanpa dikaitkan dengan agama. Tetapi dalam kenyataan hidup manusia masih mendambakan tegaknya cinta dalam kehidupan ini. Di satu pihak, cinta didengungkan lewat lagu dan organisasi perdamaian dunia, tetapi pihak lain dalam praktek kehidupan cinta sebagai dasar kehidupan jauh dari kenyataan. Atas dasar ini, agama memberikan ajaran cinta kepada manusia.

Dalam kehidupan manusia, cinta menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang seseorang mencintai dirinya sendiri. Kadang-kadang mencintai orang lain. Atau juga istri dan anaknya, hartanya, atau Allah dan Rasul-Nya. Berbagai bentuk cinta ini biasa kita dapatkan dalam kitab suci Al-Qur’an.

Cinta diri

Cinta diri erat kaitannya dengan dorongan menjaga diri. Manusia senang untuk tetap hidup, mengembangkan potensi dirinya, dan mengaktualisasikan diri. Pun ia mencintai segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan pada dirinya. Sebaliknya ia membenci segala sesuatu yang menghalanginya untuk hidup hidup, berkembang dan mengaktualisasikan diri. Ia juga membenci segala sesuatu yang mendatangkan rasa sakit, penyakit dan mara bahaya. Al-Qur’an telah mengungkapkan cinta alamiah manusia terhadap dirinya sendiri, dan menghindari dari segala sesuatu yang membahayakan keselamatan dirinya, melauli ucapan Nabi Muhammad SAW, bahwa seandainya beliau mengetahui hal-hal gaib, tentu beliau akan memperbanyak hal-hal yang baik bagi dirinya dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan.

Diantara gejala yang menunjukkan kecintaan manusia terhadap dirinya sendiri ialah kecintaannya yang sangat terhadap harta, yang dapat merealisasikan semua keinginannya dan memudahkan baginya segala sarana untuk mencapai kesenangan dan kemewahan hidup (QS, Al-Adiyat, 100:8).

Diantara gejala lain yang menunjukkan kecintaan  manusia pada dirinya sendiri ialah permohonannya uang terus menerus agar dikaruniai harta, kesehatanm dan berbagai kebaikan dan hidup lainnya. Dan apabila ia tertimpa bencana, keburukan, atau kemiskinan, ia merasa putus asa dan mengira ia akan bias meperoleh karunia lagi(QS, Fushilat, 41:49)

Namun hendaknya cinta manusia pada dirinya tidaklah terlalu berlebih-lebihan dan melewati batas. Sepatutnya cinta pada diri sendiri ini diimbangi dengan cinta pada orang lain dan cinta berbuat kebajikan kepada mereka.

Cinta kepada sesama manusia

Agar manusia dapat hidup dengan penuh keserasian dan keharmonisan dengan manusia lainnya, tidak boleh tidak ia harus membatasi cintanya pada diri sendiri dan egoismenya. Pun hendaknya ia menyeimbangkan cintanya itu dengan cinta dan kasih sayang pada orang-orang lain, bekerja sama dengan dan memberi bantuan kepada orang lain. Oleh karena itu, Allah ketika memberi isyarat tentang kecintaan manusia pada dirinya sendiri, seperti yang tampak pada keluh kesahnya apabila ia tertimpa kesusahan dan usahanya yang terus-menerus untuk memperoleh kebaikan serta kebakhilannya dalam memberikan sebagian karunia yang diperolehnya. Setelah itu Allah langsung memberi pujuan kepada orang-orang yang berusaha untuk tidak berlebih-lebihan dalam cintanya kepada diri sendiri dan melepaskan diri dari gejala-gejala itu adalah dengan melalui iman, menegakkan shalat, memberikan zakat, bersedekah kepada orang-orang miskin dan tak punya, dan menjauhi segala larangan Allah. Keimanan yang demikian ini akan bias menyeimbangkan antara cintanya kepada diri sendiri dan cintanya kepada orang lain, dan dengan demikian akan bias merealisasikan kebaikan individu dan masyarakat.

Cinta seksual

Cinta erat kaitannya dengan dorongan seksual. Sebab ialah yang bekerja dalam melestarikan kasih sayang, keserasian, dan kerjasama antara suami dan istri. Ia merupakan factor yang primer bagi kelangsungan hidup keluarga :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi yang berpikir(QS, Ar-Rum, 30:21)

Dorongan seksual melakukan fungsi penting, yaitu melahirkan keturunan demi kelangsungan jenis. Lewat dorongan seksualah terbentuknya keluarga. Dari keluarga terbentuk masyarakat dan bangsa. Dengan demikian bumi pun menjadi ramai, bangsa-bangsa saling kenal mengenal, kebudayaan berkembang, dan ilmu pengetahuan dan industry menjadi maju. Islam mengakui dorongan seksual dan tidak mengingkarinya. Jelas dengan sendirinya ia mengakui pula cinta seksual yang mennyertai dorongan tersebut. Sebab ia merupakan emosi alamiah dalam diri manusia yang diingkari, tidak ditentang ataupun ditekannya. Yang diserukan Islam hanyalah pengendalian dan penguasaan cinta ini lewat pemenuhan dorongan tersebut dengan cara yang sah, yaitu dengan perkawinan.

Cinta kebapakan

Mengingat bahwa antara ayah dan anal-anaknya tidak terjalin oleh ikatan-ikatan fisiologis seperti yang menghubungkan si ibu dengan anak-anaknya, maka para ahli ilmu jiwa modern berpendapat bahwa dorongan kebapakan bukanlah dorongan fisiologis seperti halnya dorongan keibuan, melainkan dorongan psikis. Dorongan ini Nampak jelas dalam cinta bapak kepada anak-anaknya, karena mereka sumber kesenangan dan kegembiraan baginya, sumber kekuatan dan kebanggaan, dan merupakan factor penting bagi kelangsungan peran bapak dan kehidupan dan tetap terkenangnya dia setelah meninggal dunia. Ini terlihat kelas dalam do’a Nabi Zakaria As, yang memohon pada Allah semoga ia dikarunia seorang anak yang akan mewarisinya dan mewarisi keluarga Ya’qub :

“Ia berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalm berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seseorang yang diridhai (QS, Maryam, 19:4-6)

Cinta kebapakan dalam Al-Qur’an diisyratkan dalam kisah Nabi Nuh As. Betapa cintanya ia kepada anaknya, tampak jelas ketika ia memanggilnya dengan rasa penuh cinta, kasih sayang, dan belas kasihan untuk naik ke perahu agar tidak tenggelam ditelan ombak.

Cinta kepada Allah

Puncak cinta manusia, yang paling bening, jernih dan spiritual ialah cintanya kepada Allah dan kerinduaanya kepada-Nya. Tidak hanya dalam shalat, pujian, dan doanya saja, tetapi juga dalam semua tindakan dan tingkah lakunya. Semua tingkah laku dan tindakannya ditunjukkan kepada Allah, mengharapkan penerimaan dan ridha-Nya :

“Katakanlah : Jika kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha pengampun lagi Maha penyanyang” (QS, Ali Imran, 3:31)

Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan membuat cinta itu menjadi kekuatan pendorong yang mengarahkannya dalam kehidupannya dan menundukan semua bentuk kecintaan lainnya. Cinta ini pun juga akan membuatnya menjadi seorang yang cinta pada sesame manusia, hewan, semua mahluk Allah dan seluruh alam semesta. Sebab dalam pandagannya semua wujud yang ada di sekelilingnya mempunyai  manifestasi dari Tuhannya yang membangkitkan kerinduan-lerinduan spiritualnya dan harapan kalbunya.

Cinta kepada Rasul

Cinta kepada Rasul, yang diutus Allah sebagai rahma bagi seluruh alam semesta, menduduki peringkat ke dua setelah cinta kepada Allah. Ini karena Rasul merupakan ideal sempurna bagi manusia baik dalam tingkah laku, moral, maupun berbagai sifat luhur lainnya. Seorang mukmin yang benar-benar beriman dengan sepenuh hati akan mencintai Rasullah yang telah menanggung derita dakwah Islam, berjuang dengan penuh segala kesulitan sehingga Islam tersebar di seluruh penjuru dunia, dan membawa kemanusiaan dari kekelaman kesesaran menuju cahaya petunjuk.

Leave a comment